Minggu, 27 Maret 2011

Warga Purworejo Tewas Dirampok di Karawang

Tedi Irwantoro (20) pemuda asal Desa Karangduwur Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo menjadi korban perampokan di Karawang Jawa Barat. Sepeda motor, dompet dan HP milik korban hilang. Korban ditemukan sudah meninggal di rumah kontrakannya. Usai divisum, korban langsung dipulangkan dan dimakamkan di desa asalnya, Minggu (27/3).

Menurut salah seorang kerabat dekat korban, Kasam (41) yang juga tinggal di Karawang menuturkan, korban ditemukan rekannya Muhaimin (20) pada Sabtu (26/3) sekitar pukul 14.00 WIB. Muhaimin sebelum pindah di Cikarang satu rumah dengan korban menempati rumah Suparjono (27).

Muhaimin yang juga asal Purworejo ini masih memegang kunci rumah itu selain korban dan pemilik rumah. “Saat Muhaimin datang, mendengan air kamar mandi hidup dan langsung mematikan air. Lalu menuju ruang tamu, dan mendapati korban sudah meninggal dalam posisi terlentang ditutup kasur dan kain lap di lantai ruang tamu,” katanya.

Menurut Kasam, korban menderita luka lebam akibat pukulan benda keras pada bagian leher belakang dan perut samping kanan. “Di bagian pelipis kanan juga terluka, bekas pukulan keras,” katanya.

Kematian korban yang baru sekitar dua tahun tinggal di Karawang dan bekerja di sebuah perusahaan otomotif ini menurut Kasam, murni akibat penganiayaan dalam aksi perampokan. “Mungkin juga salah satu pelaku sudah kenal dengan korban,” kata Kasam yang memperkirakan pelaku berjumlah lebih dari satu orang. (Nar)

Sumber: KR jogja

Read More......

Senin, 21 Maret 2011

Pelajar Terseret Ombak Belum Ditemukan

PURWOREJO - Dua orang pelajar SMK Informatika Wonosobo Reztu Yulianto (17) dan Doni Kristianto (17) yang dilaporkan hilang terseret keganasan ombak di pantai selatan Jatimalang, Kecamatan Purwodadi, Minggu (20/3) sore, hingga Senin (21/3) siang belum juga ditemukan.

Tim SAR bersama aparat Polsek Purwodadi serta nelayan masih terus melakukan pencarian. Sementara keluarga kedua korban masih terus menunggui perkembangan proses pencarian di pinggir pantai. Keluarga kedua korban sudah menginap semalam dan berencana akan terus menunggu hingga ada kejelasan kedua korban ditemukan.

Proses pencarian tidak bisa dilakukan dengan mengarungi lautan karena ketinggian ombak kemarin lebih dari tiga meter. Tim SAR hanya bisa melakukan penyisiran di sepanjang pantai ke arah barat dan timur dari lokasi di mana kedua korban pertama kali terseret ombak.

Anggota tim SAR Mulyoto mengungkapkan, pencarian ke arah barat sudah dilakukan sampai wilayah Kecamatan Ngombol. Sedangkan ke arah timur sudah sampai di muara sungai Bogowonto yang merupakan perbatasan langsung dengan Pantai Congot, Kulon Progo, DIY.

”Kondisi ombak tidak memungkinkan kita turun ke laut. Pencarian hanya bisa dilakukan dengan menyisir seperti ini,” katanya saat ditemui di sela-sela proses pencarian.

Menurut Mulyoto, kedua korban terseret ombak tepat di pertemuan air antara arus dari arah barat dan timur atau warga sekitar menyebutnya dengan istilah titik lebeng. Menurutnya, di titik lebeng ini, arus bawahnya sangat kuat dan lebih dalam di bandingkan hamparan pantai lainnya.

”Apalagi kalau korban tidak bisa berenang. Begitu terseret ombak dan ketarik masuk ke lebeng, ya sulit sekali untuk bisa keluar. Tidak ndisiki kerso (mendahului kehendak Tuhan, red) kemungkinan korban selamat sangat kecil,” katanya.

Nelayan setempat Waryanto (45) membenarkan hal itu. Berdasarkan pengalaman, wisatawan yang terseret ombak dan masuk lebeng kemungkinan selamatnya sangat kecil.

Seperti diwartakan sebelumnya, lima orang pelajar terseret ombak saat bermain di pantai tersebut Minggu (20/3) sekitar pukul 13.30. Tiga orang berhasil diselamatkan, dan dua sisanya belum ditemukan.

Tiga pelajar merupakan rombongan tur wisata dari SMK Informatika Wonosobo dan berhasil diselamatkan terdiri dari Rizki Andri Setiawan (17) warga Perum Manggisan Indah Wonosobo, Heru Setiono (17) warga Pojok Kramatan Ngasinan Wonosobo, dan Burhanudin Alwi (17) warga Trembelang Wonosobo.

Sumber: Suara merdeka

Read More......

Senin, 14 Maret 2011

Program DME Patutrejo Terancam Gagal

PURWOREJO (KR) - Percontohan Desa Mandiri Energi (DME) di Patutrejo Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo terancam gagal. Sebulan terakhir, aktivitas pembuatan biodiesel berbahan biji Nyamplung di Desa Patutrejo berhenti. Kelompok masyarakat yang diminta mengelola satu unit instalasi pembuatan biodiesel kesulitan menjalankan usaha akibat kesulitan mendapatkan bahan baku biji dan tingginya biaya operasional yang juga mengakibatkan harga jual biodiesel minimal harus Rp 30 ribu per liter.

“Agar biaya produksi bisa ditutup, harga satu liter biodiesel kami hitung Rp 30 ribu. Harganya sangat tinggi dibandingkan minyak tanah atau solar,” kata Barino, Ketua Unit Produksi DME Patutrejo kepada KR, Sabtu (12/3).
Meningkatnya biaya produksi pembuatan biodiesel antara lain akibat lamanya proses produksi, sehingga upah tenaga kerja membengkak. Sekali masa produksi, diperlukan waktu minimal dua minggu. Selain itu, kapasitas produksi minyak bakar tersebut tidak bisa maksimal. Selain itu lonjakan biaya juga akibat harga bahan kimia yang tinggi.
Unit mesin biodiesel di Desa Patutrejo maksimal hanya mampu menghasilkan 80 liter minyak setiap dua minggu. “Idealnya 100 liter, namun seluruh bahan yang diproses hanya menghasilkan 80 liter. Kami akui, kinerja mesin kurang maksimal, namun tidak tahu apa penyebabnya,” ungkapnya.
Untuk menghasilkan seratus liter biodiesel, diperlukan sedikitnya 1,2 ton biji nyamplung kering. Biaya produksi juga makin membengkak jika kondisi cuaca tidak panas maksimal. Biji nyamplung harus dijemur di bawah sinar matahari setelah proses pengukusan. Jika panas maksimal, pengeringan membutuhkan waktu tiga hari.
Biaya produksi untuk satu liter biodiesel dengan kapasitas produksi sebanyak 80 liter mencapai Rp 23 ribu. Biaya melonjak menjadi Rp 29 ribu jika kapasitas produksi biodiesel naik menjadi 100 liter.
Bahan baku juga sulit didapat di wilayah Kabupaten Purworejo. Selama ini, DME Patutrejo mengambil biji yang harganya Rp 1.000 setiap kilogram itu dari luar daerah. Bahkan, sebelum menghentikan operasi, mereka sempat membeli biji Nyamplung dari Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur.
Demplot DME Patutrejo juga terancam tidak bisa melanjutkan usaha karena kesulitan mengakses pasar. Tingginya harga membuat mereka kesulitan menjual biodiesel. “Tujuan utama DME memang untuk mencukupi kebutuhan energi masyarakat setempat. Namun dengan harga demikian tinggi, petani tidak akan mampu membeli. Kami tidak berani menawarkannya kepada masyarakat,” tandasnya.
Sejak diresmikan Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan akhir 2009, instalasi biodiesel itu baru beroperasi sekitar dua kali. Unit tersebut baru mampu menghasilkan 100 liter biodiesel dan 100 liter biokerosin. Sebanyak 200 liter minyak tersebut laku dijual kepada Pertamina dan kelompok peneliti di Tangerang total senilai Rp 4 juta.
“Padahal, biaya yang dikeluarkan untuk produksi mencapai belasan juta rupiah, untung saja uang itu berasal dari bantuan stimulans,” tuturnya.
Pemerintah baru setengah-setengah dalam menerapkan kebijakan terkait energi alternatif. Menurutnya, unit DME Patutrejo membutuhkan pendampingan produksi dan pemasaran yang berkelanjutan, sehingga biaya bisa ditekan sekecil mungkin dan sudah ada konsumen biodiesel produksi mereka.
Pemerintah juga diminta membantu mengatasi persoalan limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan minyak. “Kabarnya, ampas biji nyamplung bisa dijadikan briket bahan bakar. Pemerintah harus mengajarkan cara menjadikan limbah menjadi layak jual, sehingga kami tidak membuangnya begitu saja. Pendampingan semacam itu yang selama ini tidak pernah dilakukan pemerintah,” tegasnya.
Sekdes Patutrejo Sukardi mengungkapkan, biodiesel yang dihasilkan dari instalasi pembuatan di desanya sudah layak pakai. Sejumlah warga sukses mencobanya pada mesin traktor dan mobil yang mereka miliki.

sumber: KR

Read More......

Supriyanto, Tunanetra Pemanjat Pohon Kelapa

Purworejo: Keterbatasan fisik hendaknya tidak menjadi alasan seseorang untuk patah semangat dalam bekerja. Seperti diperlihatkan Supriyanto, warga Desa Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah. Meski tunanetra ia tetap bekerja, bahkan menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi tukang panjat pohon kelapa.

Lelaki berusia 53 tahun itu selalu bersemangat menjalani pekerjaannya demi mendapatkan uang untuk menghidupi keluarga. Selain sering dimintai tolong tetangga untuk memetik kelapa, Supriyanto kadang juga memanjat pohon-pohon kelapa miliknya dan buahnya dijual ke pasar.

Pak Pri, demikian Supriyanto biasa dipanggil, setiap hari berkeliling kampung dengan ditemani anaknya dan sesekali juga sang cucu untuk mengambil buah kelapa di pohon yang rata-rata berketinggian 20 meter.

Menurut Pak Pri, jika harga kelapa sedang mahal dia bisa mengantongi uang sedikitnya Rp 100 ribu sehari. Namun, jika harga kelapa sedang turun, terkadang hanya mendapatkan Rp 20 ribu. Kalau musim penghujan, Pak Pri memilih berdiam di rumah. Dia tak berani memanjat pohon karena khawatir terjatuh.

Supriyanto bisa menjadi pemacu semangat bagi mereka yang berpenglihatan normal untuk tidak mudah menyerah pada keadaan. Penghalang atau rintangan yang menghadang bukanlah untuk dihindari, tetapi untuk diatasi.

sumber: liputan6

Read More......

APBD 2011 Anggarkan Gaji PNS ke-13

Purworejo, Alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur, termasuk rehab jalan-jalan yang rusak diprediksi jumlahnya akan semakin terbatas. Pasalnya, dalam APBD 2011 dianggarkan pembayaran gaji PNS ke-13, termasuk kekurangan kenaikan gaji 10 %.

Kepastian penganggaran gaji ke 13 itu disampaikan Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg di hadapan 415 guru pada acara pembinaan sertifikasi kuota 2006/2007 yang berlangsung di gedung Wisma Budaya, baru-baru ini. Mahsun menyebutkan, pembayaran gaji ke 13 itu kepastian waktunya belum diketahui karena masih menunggu Peraturan Pemerintah (PP).

Lebih lanjut disebutkan, anggaran gaji PNS ke 13 itu dimasukkan dalam APBD 2011 setelah mendengarkan pidato kenegaraan Presides RI Susilo Bambang Yudoyono, pada penyampaian nota keuangan APBN 2011. "Pernyataan Presiden diibaratkan Sabdo pandito ratu, tidak mungkin Presiden akan mengingkari," katanya.

Pada bagian lain, Mahsun meminta para guru yang telah lulus sertifikasi agar tetap tenang, tidak perlu khawatir tunjangan tidak cair. "Jangan khawatir, tunjangan sertifikasi pasti cair, hanya kapan waktunya yang belum bisa ditentukan. Cepat lambatnya pencairan, juga ditentukan oleh calon penerima. Tunjangan bisa dicairkan kalau ada usulan dari dinas. Dinas mengusulkan kalau persyaratannya sudah lengkap. Jadi cepat atau lambatnya, kembali pada calon penerima itu sendiri," paparnya.

Untuk itu, dia meminta agar jangan berprasangka buruk, dengan tudingan dananya disimpan di bank untuk diambil bunganya. Dia menjelaskan, semua dana pemerintah disimpan di bank, hal itu sesuai pentunjuk aturan pengelolaan keuangan daerah. "Bila ada bunganya, langsung masuk ke kas daerah, bukan masuk ke rekening seseorang," katanya.

Dalam kesempatan itu, Mahsun juga menyinggung jumlah PNS di Kabupaten Purworejo sebenarnya sudah melebihi batas. Dengan jumlah penduduk jumlah penduduk sekitar 700.000 jiwa, PNS yang dimilki saat ini sekitar 12.100 orang. Idealnya perbandingan antara PNS dengan rakyat 1 : 100. "Di Purworejo perbandingannya 1 : 60," katanya.

Jumlah PNS yang melebihi batas rasio itu sebenarnya sangat memberatkan APBD. Akibatnya 70 % APBD habis tersedot untuk gaji pegawai. Namun, berdasarkan keluhan para kepala UPT Pendidikan, banyak yang mengeluhkan kekurangan guru. “Dengan demikian dapat disimpulkan, permasalahannya distribusi guru yang kurang merata,” tandasnya.

sumber: suaramerdeka

Read More......

About This Blog

Blog ini berisi kumpulan berita dari berbagai sumber.

Terutama yang berhubungan dengan Purworejo.

Semoga bisa membantu anda mengenal kota ini lebih dalam.

Terimakasih.

Berita Purworejo 2010 Presented By d-_-b

Back to TOP